Jumat, 13 Februari 2009

Mampukah Atasi Degradasi Lingkungan?

Mampukah Atasi Degradasi Lingkungan?

Ketika dinobatkan sebagai bupati pertama Semarang, pada 12 Rabiulawal 954 Hijriyah (2 Mei 1547 M), Ki Ageng Pandan Arang II mungkin sudah membayangkan daerah ini bakal berkembang pesat menjadi kota raya. Letaknya di jalur pantura, bahkan tepat berada di tengah jalur Jakarta-Surabaya, membuat Semarang menjadi gerbang utama perekonomian Jawa Tengah. Tetapi Pandan Arang II mungkin tidak pernah membayangkan kalau 459 tahun kemudian Semarang menghadapi degradasi lingkungan yang tidak ringan, yang menyebabkan kerusakan berbagai infrastruktur strategis, khususnya jalan.

SAMPAI saat ini, julukan sebagai gerbang utama perekonomian Jawa Tengah masih melekat pada Kota Semarang. Sejumlah rekor pun terukir, misalnya daerah dengan pendapatan asli daerah (PAD) terbesar di Jateng (Rp 199,9 miliar), kota berdaya tarik investasi paling tinggi di Indonesia (2004), dan belum lama ini meraih Suara Merdeka Otonomi Award di bidang pengelolaan ekonomi, keuangan dan investasi daerah.

Dengan pertumbuhan ekonomi 5,72 persen dan laju inflasi 5,98 persen, minat investasi di kota ini masih cukup tinggi. Andai Semarang bisa membebaskan diri dari ancaman degradasi lingkungan, banjir, dan rob -setidaknya mengurangi dalam batas minimal- tentu kota ini tumbuh makin pesat lagi.

Tetapi banjir dan Kota Semarang memang seperti dua sisi mata uang. Sejak lama, banjir (dan rob) menjadi kawan akrab masyarakat di ibu kota Jateng ini. Sampai sekarang pun, bertepatan dengan Hari Jadi Ke-459, persoalan ini belum juga tuntas teratasi.

Bahkan belakangan ini genangan air tidak sekadar melanda wilayah-wilayah tradisional seperti Tambaklorok (Semarang Utara). Wilayah perkotaan yang selama ini aman juga tak luput dari genangan. Di sekitar Pasar Johar, misalnya, genangan air menjadi pemandangan sehari-hari. Begitu pula sejumlah kawasan lainnya yang semula aman-aman saja.

Ketidaktuntasan penanganan banjir dan rob akhirnya berdampak pada kerusakan infrastruktur. Dalam setahun terakhir, Jalan Raya Kaligawe yang menjadi urat nadi perekonomian di Jateng hampir tak pernah dalam kondisi optimal. Yang terlihat hanyalah genangan yang tidak surut dari waktu ke waktu.

Kalau pun surut, pengguna jalan harus menghadapi lubang-lubang besar di jalan yang amat membahayakan. Akibatnya, kemacetan menjadi pemandangan biasa. Perjalanan yang semula bisa ditempuh 15-20 menit, kini harus dilalui selama berjam-jam. ''Memang, itu persoalan yang harus segera dipecahkan. Pemerintah Kota (Pemkot) sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi dan Pusat untuk penanganan banjir dan kerusakan jalan di Kaligawe,'' ungkap Wali Kota H Sukawi Sutarip SH SE, dalam wawancara dengan Suara Merdeka, beberapa hari lalu.

Melihat topografinya, wajar jika terjadi genangan di Semarang. Pasalnya, 62,22 persen wilayah kota yang seluas 371,52 km2 itu berada di daerah pantai, dengan ketinggian 0-0,75 meter dari permukaan laut (dpl) dan dataran rendah dengan ketinggian 0,75-3,50 meter dpl. Hanya 37,78 persen yang berada di daerah perbukitan, dengan ketinggian 90-348 meter dpl.

Penurunan tanah -khususnya di daerah pantai- kerap dituding sebagai penyebab makin parahnya genangan banjir dan rob. Menurut pakar lingkungan dari Undip, Dr Suripin, setiap tahun tanah di kota bawah mengalami penurunan dengan besaran bervariasi, antara nol sampai 14 cm.

Salah satu penyebabnya adalah pengambilan air melalui pembuatan sumur artetis. ''Kalau tidak segera dilakukan upaya antisipasi yang terencana, pelan tetapi pasti Kota Semarang akan tenggelam,'' kata Suripin.

Aha, ini bukan sekadar gertak sambal. Seniornya di Undip, Prof Sudharto P Hadi MES PhD, pun sependapat. Menurut dia, tanah di sejumlah kawasan kota bawah mulai ambles sejak beberapa tahun lalu. ''Pembangunan yang berlebihan menjadi salah satu faktor penyebab penanganan rob tak pernah selesai. Lihat saja di Kecamatan Semarang Utara, saat ini bermunculan bangunan baru,'' kata Sudharto.

Kerusakan Lingkungan

Pada saat yang sama, kerusakan lingkungan di kota atas memberi kontribusi tak kalah besar dalam menyebabkan banjir. Sistem drainase yang buruk menyebabkan air tak bisa mengalir lancar. Menurut Ketua Lingkungan Manusia Bangunan (LMB) Unika Soegijapranata, Ir Djoko Suwarno MSi, hal itu akibat penyalahgunaan daerah resapan.

Banyak daerah resapan yang rusak, karena digunakan untuk perumahan. Padahal fungsi daerah resapan sangat penting, yaitu menampung air hujan.

Pemkot Semarang memang tidak tinggal diam melihat keadaan seperti itu. Sudah ada konsep penanganan banjir dan rob, misalnya melalui sistem pompanisasi dan polder. Sejumlah pompa ditempatkan pada sejumlah titik rawan banjir. Antara lain di Lamperkidul untuk mengatasi banjir wilayah Semarang Selatan, Kanalsari (Kartini atau Barito) untuk banjir Simpanglima dan sekitarnya, serta beberapa titik di Semarang Utara.

''Kalau sampai saat ini belum efektif, itu karena pekerjaan memang belum tuntas,'' ujar Wali Kota Sukawi Sutarip. ''Polder di depan Stasiun Tawang masih perlu dituntaskan dengan membikin sejumlah bangunan pendukung. Selain itu, harus dibangun pula saluran yang mengarah ke polder. Masih diperlukan anggaran sedikitnya Rp 80 miliar lagi agar polder Tawang bisa berfungsi optimal''.

Hal lain yang tak kalah penting adalah antisipasi pemerintah daerah terhadap kemungkinan bencana banjir dan tanah longsor. Menurut Kepala Badan Kesbanglinmas Sujitno, instansinya mencatat ada 35 kelurahan yang termasuk rawan banjir dan 27 kelurahan rawan longsor.

Seluruh stakeholder di Kota Semarang -mulai dari pejabat sampai rakyat jelata- harus bahu-membahu dalam mengatasi degradasi lingkungan. Hal ini mesti disadari semua pihak.

Sebagaimana penuturan Prof Sudharto, penanganan banjir dan rob membutuhkan gerakan sosial, bukan parsial, serta melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat.

Jika kesadaran ini menguat, niscaya pertanyaan seperti judul di atas akan dijawab dengan satu kata: mampu! (32)

RAKYAT BOLEH BICARA

Donny Danardono (30), dosen:

SELAMAini, keberadaan ruang publik di Semarang kurang mendapat perhatian. Pemerintah hanya menyediakan fasilitas-fasilitas yang mendatangkan keuntungan. Proyek pelayanan publik nyaris tidak disentuh, termasuk penataan terhadap fasilitas ruang publik. Sebab keberadaan ruang publik yang nyaman memang tidak mendatangkan keuntungan, malah membutuhkan biaya perawatan. Tetapi fasilitas ini sangat diperlukan masyarakat.

Dokter Iwan Setiawan (26), konsultan seks remaja:

BANYAK ruang publik di Semarang yang kurang dioptimalkan. Tempat-tempat ini justru dimanfaatkan sebagai sarana komersial, sehingga tidak lagi memberi rasa nyaman. Padahal fasilitas itu sangat diperlukan masyarakat untuk menghilangkan stres. Karena tidak menemukan kenyamanan pada ruang publik, warga mencari tempat hiburan lain. Kafe dan diskotek pun menjadi alternatif. Padahal tempat-tempat ini memiliki konsekuensi cukup besar.

Evarisan (26), aktivis perempuan:

LINGKUNGAN Semarang kotor banget. Layanan penyediaan air bersih masih memprihatinkan. Kebijakan Pemkot jauh dari welfare state. Pemerintah belum bisa menyediakan sarana air bersih untuk warganya. Lihatlah, banyak perempuan dan anak-anak yang memanfaatkan air sungai untuk menunjang aktivitas sehari-hari menjadi korban. Tapi mereka tak punya pilihan.

Adi Nugroho (30), tokoh masyarakat Plamongansari

KOTA Semarang sering mendapat penghargaan baik skala regional maupun nasional. Tapi, kondisi kota yang nyaman, lalu lintas tertib, dan bersih masih dalam harapan. Banjir, jalan berlubang, dan rob menjadi kehidupan warga sehari-hari. Kami butuh aksi nyata dari Wali Kota. Jangan cuma janji dan konsep tanpa ada realisasi. Janji harus ditepati, meski diucapkan saat kampanye. (32)



Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar